Kehadiran teknologi Generative AI semakin meningkatkan popularitas public cloud. Keunggulan seperti kapasitas komputasi yang masif, kemampuan elastic scaling, dan layanan terkelola, membuat public cloud sangat populer pada fase adopsi awal Generative AI. Namun kini, banyak perusahaan mulai memindahkan proyek AI-nya kembali ke infrastruktur on-premises. Fenomena ini didorong kelebihan on-premise AI dalam hal regulasi, kedaulatan data, tata kelola, serta kepastian biaya.
Seiring semakin matangnya AI, para CIO mulai meninjau ulang strategi infrastruktur AI secara keseluruhan. Technology stack yang menyediakan “AI private” siap pakai semakin diminati karena menyeimbangkan inovasi dengan risiko serta kepatuhan. Namun karena kebutuhan setiap perusahaan tidak pernah sama, pertanyaannya adalah bagaimana menyusun strategi infrastruktur AI yang paling tepat? Bagaimana peran AI privat dalam keseluruhan ekosistem tersebut?
Memilih Lingkungan yang Tepat
Sebenarnya, kesuksesan inisiatif AI tidak ditentukan pola pikir “cloud-first” atau “on-prem-first”. Sebaliknya, infrastrukturnya harus sesuai dengan kebutuhan setiap beban kerja.
Layanan AI berbasis cloud sangat cocok ketika Anda membutuhkan fleksibilitas dan akses ke ekosistem luas. Model AI yang elastis dan pay-as-you-go sangat cocok untuk pengembangan tahap awal. Sementara, arsitektur AI hybrid memiliki keunggulan pada penyederhanaan pengelolaan di enterprise yang kompleks, ketika kebutuhan data, regulasi, dan komputasi berbeda-beda tergantung lokasi atau unit bisnis.
Di sisi lain, layanan AI on-premises unggul dalam situasi yang menuntut kendali penuh, latensi rendah, dan kepatuhan regulasi. Investasi awal AI on-premise memang lebih besar, tetapi model biayanya lebih stabil. Hal itu membantu perusahaan menghindari lonjakan biaya yang tak menentu di public cloud.
Untuk aplikasi real-time yang sangat bergantung pada kecepatan, infrastruktur on-premise juga memberi keunggulan latensi rendah yang sulit disaingi cloud. Kesimpulannya, pilihan terbaik sangat bergantung pada beban kerja. Kuncinya adalah membangun infrastruktur yang fleksibel dan responsif, selaras dengan kebutuhan teknis sekaligus prioritas strategis bisnis.
Pergeseran Strategis ke On-Premise
Belakangan ini, banyak perusahaan mulai mengambil kembali sebagian beban kerja dengan menerapkan technology stack AI berbasis on-premises. Survei TechTarget terhadap lebih dari 1.300 manajer senior TI dan bisnis pada akhir 2024 menunjukkan, layanan on-premises dan public cloud sangat cocok untuk menjalankan aplikasi baru. Penelitian lain mengungkapkan sebanyak 42 persen petinggi teknologi menyatakan perusahaannya telah memindahkan beban kerja AI dari public cloud ke on-premise karena permasalahan privasi dan keamanan data.
Yang menarik, platform private AI biasanya dirancang siap pakai (turn-key) dan sudah terintegrasi. Biasanya platform AI privat sudah dipaketkan dengan komputasi, penyimpanan, orkestrasi, dan perangkat AI yang telah dioptimalkan sehingga lebih cepat diterapkan dan lebih mudah dikelola. Hal itu memungkinkan transisi dari proof of concept ke tahap produksi hanya dalam hitungan menit. Dengan kata lain, implementasi private AI sebenarnya tidak lebih rumit dibandingkan menggunakan AI siap pakai di cloud.
Masa Depan Private AI
Apa arti semua ini bagi CIO dan pemimpin bisnis? Alih-alih mengejar tren AI terbaru atau takut ketinggalan, CIO seharusnya membangun strategi infrastruktur berdasarkan kesesuaian beban kerja. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah:
- tugas mana yang membutuhkan kendali ketat atas data dan latensi?
- Keseimbangan apa yang paling tepat untuk menjamin risiko, total biaya kepemilikan, dan kebutuhan performa?.
Dengan mempertimbangkan dua hal utama tersebut, infrastruktur AI perusahaan Anda bukan hanya mengejar tren sesaat, namun selaras dengan apa yang paling dibutuhkan oleh bisnis, data, dan pelanggan Anda.