Pada akhir tahun 1970-an, sebuah startup kecil yang didirikan tiga orang mendapat kontrak besar dengan CIA. Startup tersebut mendapat tugas membangun basis data bagi CIA. CIA menamakan project itu sebagai Oracle, dan nama itulah yang kemudian menjadi nama bagi startup tersebut.
Cerita di atas adalah cikal bakal Oracle yang didirikan oleh Larry Ellison bersama dua rekannya, Bob Miner, and Ed Oates. Kini, Oracle tentu saja bukan startup lagi. Mereka menjelma menjadi salah satu pemain kunci di dunia enterprise. Solusi mereka, mulai dari ERP, supply chain management, sampai data management, digunakan berbagai perusahaan di seluruh dunia.
Bahkan kini, Oracle juga menjadi pemain penting di era AI. OpenAI baru-baru ini sepakat membayar Oracle US$300 miliar untuk menggunakan layanan cloud Oracle selama lima tahun ke depan.
Melejitnya Bisnis Oracle
Tidak heran jika proyeksi bisnis cloud Oracle diprediksi akan sangat menjanjikan. Hal ini tercermin dari proyeksi pertumbuhan pesat bisnis cloud Oracle di laporan keuangan terbarunya yang terbit pekan lalu. CEO Oracle Safra Catz menyebutkan pendapatan infrastruktur cloud diproyeksikan tumbuh 77 persen menjadi USD18 miliar pada tahun fiskal 2026 dan mencapai USD144 miliar pada 2030.
Lompatan besar itu ditopang oleh kenaikan luar biasa pada kontrak pendapatan masa depan atau remaining performance obligations (RPO), yang naik 359 persen year-on-year menjadi USD455 miliar pada kuartal terakhir. “Kami telah menandatangani empat kontrak bernilai miliaran dolar dengan tiga pelanggan berbeda dalam periode tersebut,” katanya.
Harga saham Oracle pun naik lebih dari 80 persen sejak awal tahun, melampaui performa Nvidia, Google, Meta, bahkan Microsoft. Kenaikan harga saham itu menjadikan Ellison yang kini menjabat sebagai ketua dan pemegang saham terbesar Oracle sebagai orang terkaya di dunia.
Kebangkitan Oracle menjadi contoh bagaimana perusahaan veteran Silicon Valley kembali menemukan peluang baru di era AI. “Ini adalah momen bersejarah bagi Oracle. Tahun lalu, Oracle seperti perusahaan yang sedang meraba-raba jalan. Kini, tiba-tiba mereka mendapatkan validasi besar,” kata Daniel Morgan (Manajer Portofolio senior di Synovus Trust Company) seperti dikutip CNN.
Kiprah Oracle akan semakin terasa jika mereka jadi mengambil alih kendali operasi TikTok di AS. Pejabat Gedung Putih pada minggu lalu menyebutkan bahwa kerangka kesepakatan pengambilalihan Tiktok hampir final. Oracle disebut akan menjadi salah satu dari konsorsium perusahaan AS yang mengelola operasi Tiktok di AS.
Oracle sendiri sudah menjadi penyedia hosting data TikTok AS sejak 2020, sebagai bagian dari upaya meredakan kekhawatiran keamanan nasional Amerika. Jika berhasil menguasai sebagian atau seluruh operasi TikTok di AS, Oracle akan mendapat akses ke salah satu aplikasi paling populer di dunia dengan 170 juta pengguna Amerika serta peluang pendapatan iklan yang menyertainya.
Dari Penolak Cloud Menjadi Pemain AI
Sebenarnya, Oracle terlambat masuk ke bisnis cloud computing, tertinggal jauh di belakang Amazon Web Services, Google Cloud, dan Microsoft Azure. Bahkan, Ellison menyebut teknologi cloud sebagai omong kosong belaka pada 2008.
Namun, sejak 2022 bertepatan dengan peluncuran ChatGPT ke publik, Oracle mulai berbalik arah. Mereka menyadari bahwa pengembangan large language model membutuhkan daya komputasi masif. Hal itu mendorong lonjakan permintaan pusat data. Pada Januari lalu, Ellison mengumumkan bergabungnya Oracle dalam inisiatif Stargate, proyek bernilai US%500 miliar yang bertujuan membangun lebih banyak infrastruktur AI di AS.
Selain agresif dalam membangun infrastruktur AI, Oracle juga memiliki banyak keunggulan dibanding penyedia cloud lain. Salah satunya, Oracle memiliki hubungan yang dekat dengan Nvidia yang menjadi “penguasa” industri chip AI. Selain itu, Oracle tidak mengembangkan large language model sendiri, berbeda dengan Google atau Microsoft. Hal itu membuat pusat data Oracle lebih banyak tersedia untuk disewakan ke pihak lain. “Ini justru menguntungkan, baik bagi Oracle maupun bagi ekosistem AI secara keseluruhan,” kata Analis Morningstar Luke Yang.
Soal modal Oracle sendiri tidak kekurangan. Software mereka masih mencatat pertumbuhan stabil, sehingga memberikan modal yang cukup untuk mendanai ekspansi pusat data yang membutuhkan modal besar. Hanya dalam kuartal pertama saja, Oracle melaporkan belanja modal lebih dari USD27 miliar.
Namun, proyeksi pertumbuhan agresif Oracle juga penuh risiko. Untuk mempertahankan laju-nya, Oracle membutuhkan perusahaan AI yang terus menggelontorkan dana untuk daya komputasi tambahan. Beberapa pengamat industri bahkan mulai mempertanyakan apakah investasi masif ini akan memberikan hasil sesuai harapan. “Kami melihat skenario di mana total permintaan AI bisa lebih rendah dari perkiraan. Jika itu terjadi, Oracle mungkin terkena dampak lebih keras dibanding tiga hyperscaler lain karena posisinya masih relatif kecil dalam ekosistem,” kata Yang.