Dampak AI dan Otomasi, Tenaga Kerja IT Diprediksi Turun 18 Persen dalam 2 Tahun

Dunia teknologi sedang menghadapi gelombang perubahan besar. Penurunan itu dipicu oleh otomasi dan AI, serta pergeseran strategi perekrutan talenta IT. Hal itu terungkap dari The Digital Leadership Report 2025, sebuah laporan yang disusun Nash Squared (perusahaan penyedia solusi dan tenaga kerja).

Studi ini sendiri dilakukan dengan mewawancarai 2015 IT Leaders di 62 negara. Salah satu temuan menarik studi ini adalah pergeseran dalam memandang skills talenta. “Para CIO percaya bahwa kebutuhan perekrutan posisi teknologi saat ini akan berkurang sebesar 18% dalam dua tahun ke depan,” tulis laporan tersebut. Sebanyak  65% CIO juga lebih memilih developer yang memiliki kemampuan AI meski pengalamannya baru 2 tahun, dibandingkan dengan pengembang yang punya pengalaman 5 tahun tapi tanpa keahlian AI.

Matt Kimball (VP Moor Insights & Strategy) mengatakan pengurangan tenaga kerja IT juga disebabkan mulai “hilangnya” generasi developer dari era baby boomer. “Kita mulai kehilangan tenaga yang tahu skrip shell atau command line. Investasi terbaik adalah pengembangan karyawan itu sendiri,” ungkap Matt.

Sedangkan Roman Rylko (CTO di perusahaan konsultan IT Pynest) mengungkapkan ada sebuah perusahaan fintech yang mengurangi hampir setengah staf penguji dan admin. Sebagai gantinya, perusahaan ini memindahkan beban kerja ke tim pengembang dan mitra eksternal. Posisi yang paling terdampak pengurangan tenaga kerja adalah posisi rutin seperti support teknis, pengujian tanpa otomatisasi, dan admin sistem lama.

“Posisi yang aman adalah bidang keamanan siber, big data, analitik, dan arsitektur sistem hybrid. Semua posisi tetap menjadi kebutuhan utama karena risiko dan kompleksitas yang terus meningkat,” katanya.

Alasan di Balik Pengurangan Staf IT

Chirag Agrawal (Head of Investment Banking Deloitte) mengatakan CIO dituntut menekan biaya operasional dan mengalihkan anggaran ke upaya transformasi digital perusahaan. Tuntutan ini ternyata menciptakan efek lanjutan. “Saat ini ada fenomena menarik yang disebut ‘boomerang hiring‘,” ungkap Chirag. Fenomena ini merujuk strategi perusahaan untuk memecat staf, lalu merekrutnya kembali sebagai kontraktor. “Cara ini menghemat biaya operasional karena biaya benefit dan cutinya lebih murah. Sistem kontrak juga membuat hubungan kerja lebih mudah dihentikan,” ujarnya

Maxim Ivanov (CEO konsultan AI Aimprosoft) memprediksi banyak perusahaan yang memberikan kontrak kerja pendek dan fleksibel kepada tenaga kerja IT. Sayangnya, cara ini juga dibarengi fenomena keterlambatan bahkan penunggakan pembayaran gaji. “Beban integrasi sistem lama dan utang teknis, plus ketidakpastian geopolitik membuat biaya operasional semakin mahal,” ujarnya.

Ivanov menyarankan para CIO harus menetapkan batas toleransi pengeluaran anggaran. Misalnya, jika churn staf melebihi 15 persen, hentikan perekrutan dan alokasi ulang staf ke pekerjaan yang stabil. “Cara ini membantu mereka merespons dengan cepat dan tidak reaktif,” ujarnya.

Berbagai fenomena ini menunjukkan, beban CIO ke depan memang tidak mudah. Otomasi dan AI memang menciptakan peluang efisiensi, tetapi keberhasilan transformasi digital juga bergantung pada bagaimana perusahaan mengelola perubahan budaya dan talenta mereka.

Para pemimpin IT harus terus mencari keseimbangan antara efisiensi biaya dan mempertahankan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki. Dengan begitu, perusahaan bisa gesit menghadapi era baru teknologi tanpa kehilangan esensi pengalaman dan keahlian yang sudah ada.

Baca Juga