Kisah Tragis Startup AI Coding: Biaya Membengkak, Laba Menyusut

Di tengah euforia kecerdasan buatan (AI) untuk membantu pemrograman, startup AI coding justru menghadapi kenyataan pahit, yaitu terancam bangkrut. Hal terjadi akibat biaya operasional yang membengkak dan margin keuntungan yang sangat tipis.

Potret suram itu sebenarnya bisa terlihat dari kisah salah satu startup AI coding, yaitu Windsurf. Pada Februari 2025 kemarin, Windsurf berhasil mendapatkan dana baru dari venture capital Kleiner Perkins. Windsurf mendapat dana dengan nilai valuasi US$2,85 miliar, atau naik dua kali lipat dari valuasi enam bulan sebelumnya.

Akan tetapi, kesepakatan itu batal. Pada April, kabar baru muncul bahwa Windsurf berencana menjual perusahaannya ke OpenAI dengan valuasi sekitar USD3 miliar. Namun, rencana akuisisi tersebut akhirnya batal juga. Akhirnya, para pendiri dan karyawan kunci Windsurf memutuskan pindah ke Google dalam kesepakatan senilai US$2,4 miliar. Keputusan itu sebenarnya juga kontroversial karena meninggalkan sekitar 200 karyawan yang tidak mendapatkan tempat di Google.

Bisnis Populer, Tapi Merugi

Kisah Windsurf ini menjadi gambaran bisnis AI coding yang sangat rentan. Mengutip TechCrunch, struktur biaya Windsurf begitu tinggi hingga margin kotornya “sangat negatif”. Artinya, biaya mengoperasikan layanan ini jauh lebih besar dibanding harga yang bisa dibebankan ke pengguna. Jadi meski belakangan naik daun, bisnis AI coding sebenarnya merugi.

Hal ini tidak lepas dari biaya penggunaan large language model (LLM) yang sangat mahal. Asisten coding AI dituntut untuk selalu memakai model AI terbaru dan tercanggih untuk mendapatkan kemampuan paling optimal dari sisi pemograman dan debugging. Masalahnya, model AI terbaru biayanya pasti paling mahal.

Tak cuma itu, persaingan di bisnis AI coding juga semakin ketat. Segmen ini tidak cuma diisi startup AI coding, namun juga pemain besar seperti GitHub Copilot (milik Microsoft) yang sudah memiliki basis pengguna masif.

Karena itu bagi AI coding, satu-satunya cara bertahan dan memperbaiki margin adalah membangun model AI sendiri. Dengna begitu, mereka tidak perlu membayar pemasok seperti OpenAI atau Anthropic. Namun, itu langkah berisiko dan sangat mahal. Tak heran jika kemudian, CEO Windsurf, Varun Mohan, memutuskan menjual bisnisnya. Ini adalah langkah strategis untuk mengunci keuntungan sebelum para pemasok AI itu sendiri menghancurkan pangsa pasarnya.

Tekanan Margin Dialami Semua Pemain

Tekanan margin yang dihadapi Windsurf juga membayangi pemain lain, termasuk Anysphere. Meski produk AI coding mereka, Cursor, sangat populer, mereka tetap menghadapi tekanan dari sisi bisnis. Hal inilah yang membuat mereka menaikkan harga langganannya. Perubahan itu membuat sebagian pelanggan Cursor kaget karena muncul biaya tambahan di luar paket Pro USD20/bulan.

CEO Anysphere Michael Truell meminta maaf atas kenaikan harga langganan yang tiba-tiba tersebut. Namun hal itu terpaksa dilakukan untuk menutupi biaya dari penggunaan model terbaru Anthropic yang menjadi basis Cursor selama ini.

Anysphere sejauh ini menolak akuisisi, termasuk dari OpenAI. Mereka juga mencoba mengembangkan model sendiri agar tidak tergantung model AI milik Anthropic. Anysphere sendiri saat ini memiliki pendapatan tahunan sekitar US$500 juta, yang terbilang rentan terhadap munculnya layanan AI coding baru yang lebih unggul.

Selain Cursor, pemain seperti Replit, Lovable, dan Bolt juga sedang tumbuh pesat, tapi tetap bergantung pada produsen model AI. Pertanyaan pun muncul, jika startup AI yang sudah populer dan menghasilkan ratusan juta dolar ini saja kesulitan membangun di atas LLM, bagaimana nasib startup AI baru yang lebih kecil?

Baca Juga