Strategi Jitu Membangun Fondasi Data AI yang Kuat

Di tengah gelombang AI yang mengguncang dunia bisnis, para CIO  menyadari satu hal penting: fondasi data yang kokoh. Karena tanpa itu, AI hanya akan menjadi eksperimen mahal dan cepat usang.

Hal tersebut tercermin dari laporan State of the CIO 2025 yang menempatkan pengembangan proyek AI berbasis data sebagai prioritas utama para CEO. Pimpinan perusahaan mendorong CIO melangkah lebih jauh dari sekadar eksperimen dan benar-benar memberikan nilai bisnis melalui peningkatan produktivitas maupun efisiensi.

Laporan Data Maturity Index tahunan dari Carruthers and Jackson menunjukkan tren serupa. Lebih dari 50% organisasi telah meningkatkan penggunaan AI dalam setahun terakhir, dengan 11% melaporkan peningkatan yang signifikan.

Kebutuhan akan data berkualitas sebenarnya juga membuka kesempatan CIO untuk memanfaatkan datanya. Selama bertahun-tahun, perusahaan telah menghabiskan banyak sumber daya untuk mengumpulkan dan menyusun informasi perusahaan. Dengan bangkitnya kecerdasan buatan (AI), data-data yang tersimpan itu akan berguna untuk perusahaan.

CEO Carruthers and Jackson Caroline Carruthers mengatakan saat ini banyak perusahaan fokus mengembangkan AI dan akan berdampak langsung pada meningkatnya minat terhadap data. “Kami menemukan adanya semacam kesadaran bahwa data itu penting,” ungkap Caroline.

Tentunya, perusahaan bisa mendapatkan manfaat AI bila memiliki fondasi data yang andal dan scalable. Di sinilah, peran penting infrastruktur cloud yang dibangun CIO selama dekade terakhir dan memungkinkan perusahaan menyesuaikan sumber daya IT sesuai kebutuhan bisnis baru.

Dalam era transformasi digital yang hampir konstan ini, cloud publik atau privat hanyalah satu bagian dari puzzle infrastruktur IT.

Howard Holton (COO & CTO di GigaOm) mengatakan membangun fondasi AI yang efektif memerlukan pemahaman infrastruktur yang lebih mendalam. Masalahnya, banyak pemimpin bisnis yang tidak memahaminya. Banyak perusahaan berpindah dari penyimpanan internal ke layanan cloud. Pendekatan itu tidak selalu cocok untuk menjawab tuntutan teknologi yang fluktuatif.

“Strategi terbaik adalah membangun fondasi data untuk perubahan, dengan kesiapan mengubah arah setiap 12 bulan. Pasar bergerak terlalu cepat untuk mengambil keputusan yang kaku,” kata Holton.

“Pemimpin digital harus merancang arsitektur dengan asumsi mereka salah. Sama seperti keamanan siber pasti system akan jebol, jadi bangunlah sistem yang memungkinkan penggantian bagian-bagiannya saat diperlukan,” ujarnya.

Menjadikan Data sebagai Platform Segalanya

Rom Kosla (CIO global HPE) memahami peran penting fondasi data yang gesit. HPE menggunakan model AI pihak ketiga seperti Microsoft Copilot, SAP, dan Salesforce. HPE juga mengembangkan ChatHPE, pusat AI generatif internal berbasis Azure dan OpenAI, untuk proses bisnis internal. Proposal penggunaan ChatHPE dinilai berdasarkan pipeline use case, mulai dari review kontrak hukum, peningkatan layanan pelanggan, hingga analisis keuangan. Semua ini berjalan di infrastruktur HPE Private Cloud AI yang memungkinkan skala data untuk proyek AI secara aman.

“Kami punya mekanisme routing. Jika ada use case AI internal yang tidak boleh dilatih atau dijalankan di luar, kami simpan di data center sendiri,” kata Kosla. Steve Riley (Kepala Operasi IT di Mercedes-AMG Petronas F1) juga mengandalkan fondasi data tangguh. Timnya memproses data besar untuk performa balap, dengan fokus pada keandalan.

“Teknologi tercepat belum tentu terbaik. Kuncinya adalah strategi investasi tepat,” ujarnya.

Mercedes menggandeng HPE untuk infrastruktur data dan TeamViewer untuk teknologi simulator balap bertenaga AI.

Richard Masters (VP Data & AI di Virgin Atlantic) menggunakan Databricks untuk mengkonsolidasikan semua informasi perusahaan. Kini, alih-alih mencari data di berbagai database (SQL, Postgres, Oracle), timnya bisa langsung mengakses satu platform, mempercepat analisis dan eksperimen AI.

“Data adalah fondasi segalanya. Saat datanya terpercaya, AI bisa bekerja lebih optimal,” kata Masters.

Terbuka pada Ide Inovatif

Pendiri Snowflake (Benoît Dageville) mengungkapkan data adalah lapisan dasar dari fondasi AI. CIO yang menata fondasi itu sekarang akan lebih siap memanfaatkan teknologi baru di masa depan.

Hal itu sejalan dengan Vivek Bharadwaj (CIO Happy Socks). Sebelum bermigrasi ke Snowflake, Happy Socks bergantung pada Excel untuk laporan. Kini, platform data Happy Socks memiliki DBT, Airbyte, Sigma, dan bahkan eksplorasi LLM Snowflake Cortex untuk otomatisasi deskripsi produk.

“Kalau mau bertumbuh dengan data, buat sistemnya self-service sejak awal. Jangan sampai pengguna bisnis tergantung penuh pada IT,” katanya.

“Jangan bangun AI di atas fondasi data yang rapuh. Mungkin awalnya terlihat berhasil, tapi tidak akan berkelanjutan,” pungkasnya.

Baca Juga