Profesi Software Engineer Terancam Punah? Inilah Cara Menjawabnya

Dulu profesi software engineer sangat diminati dan dianggap menjanjikan. Namun, tidak untuk saat ini. Data terbaru Bank Sentral New York mengungkapkan, jumlah pengangguran dari lulusan software engineer justru lebih banyak dibanding jurusan sejarah seni.

Berdasarkan data, jumlah pengangguran lulusan teknik komputer dan ilmu komputer masing-masing mencapai 7,5 persen dan 6,7 persen. Sedangkan, jumlah pengangguran lulusan sejarah seni dan layanan sosial justru hanya 3 persen dan 1,7 persen.

Tentu saja, angka pengangguran saja tak menggambarkan keseluruhan realita. Tingkat underemployment atau pekerjaan tak layak bagi lulusan sejarah seni tercatat mencapai 46,9 persen dan lulusan teknik komputer hanya 17 persen. Artinya banyak lulusan sejarah seni yang bekerja serabutan atau berpenghasilan rendah. Namun tetap saja, tren penurunan perekrutan di sektor teknologi sangat terasa. Data terbaru Federal Reserve St. Louis menunjukkan bahwa lowongan kerja software engineer di situs Indeed kini bahkan lebih sedikit dibanding masa pandemi.

Lalu, apakah ini hanya siklus biasa atau justru perubahan besar sedang terjadi?

Era Baru Dunia IT: Revolusi atau Krisis?

Ivan Gekht (CEO pengembang perangkat lunak Gehtsoft) mengatakan, tren penurunan perekrutan di sektor teknologi bukanlah kejutan. “Tren ini bukan terjadi secara mendadak melainkan dari akumulasi selama bertahun-tahun,” katanya. Selama hampir dua dekade, profesi coding sangat diminati di dunia IT. Akibatnya, bootcamp dan kursus online tumbuh pesat untuk melatih calon programmer pemula. Banyak perusahaan teknologi saat itu berlomba-lomba merekrut secara masif demi menunjukkan pertumbuhan tetap kini pasar mulai jenuh.

Nic Adams (CEO AI 0rcus) mengatakan peran “programmer umum” atau generalist mulai ditinggalkan. Dunia IT beralih ke pengembangan sistem otonom, di mana sertifikat dan gelar tak lagi sebanding dengan kemampuan menguasai otomasi dan agen AI. “Pasar sedang mengalami kalibrasi ulang secara permanen. Ini bukan hanya siklus biasa,” ujar Adams.

AI Mengubah Segalanya: Ancaman atau Kesempatan?

Akan tetapi, Neil Sahota (CEO ASCILabs sekaligus penasihat AI untuk PBB), mengungkapkan kecepatan perubahan kali ini sangat berbeda. “Perusahaan memang biasanya mengerem rekrutmen saat resesi, namun kali ini AI mempercepat semua perubahan itu. Kita akan mengalami perubahan setara 100 tahun hanya dalam 10 tahun,” ujarnya.

Alat Generative AI seperti Copilot dan ChatGPT kini mulai mengotomatisasi banyak tugas dasar pemrograman. Tugas-tugas seperti sorting atau menerjemahkan kode tak lagi dilakukan manusia, karena Gen AI bisa melakukannya lebih cepat dan akurat.

Namun kemampuan AI saat ini belumlah sempurna karena tugas-tugas kompleks seperti glue code atau integrasi sistem masih sulit dikuasai AI. Celah inilah harus dimanfaatkan bagi para developer. “Software hebat itu 90 persen berpikir, 10 persen menulis kode,” kata Gekht. AI bukan ancaman bagi mereka yang paham algoritma dan logika dasar. Tapi bagi yang hanya mengandalkan satu bahasa pemrograman dan skill permukaan, AI bisa jadi mimpi buruk,” ujarnya.

Peran Baru di Dunia Teknologi

Brittany Lutes (Info-Tech Research Group) mengatakan data-data ini mencerminkan tren dua tahun terakhir, saat sektor IT sedang mengalami booming dan banyak perusahaan merekrut bahkan mereka yang belajar secara otodidak. Fenomena ini pun mengubah cara pikir banyak pencari kerja. “Kalau bisa dapat gaji 100 ribu dolar (Rp1.6 miliar) tanpa kuliah 4 tahun, siapa yang mau buang waktu dan uang?,” ujarnya.

Namun kini, muncul fenomena kelebihan pencari kerja dan tre ini bukan hanya terjadi di dunia IT, tapi juga hukum, kesehatan, marketing, hingga keuangan. Ketika satu profesi menjanjikan gaji tinggi, wajar banyak orang berbondong-bondong masuk dan akhirnya pasar jenuh. Lebih dari itu, peran software engineer pun berubah. Menurut Lutes, persentase lowongan yang membutuhkan skill coding murni makin sedikit, karena munculnya peran-peran baru berbasis AI dan data.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar tetap relevan di era AI? Ini beberapa hal yang disarankan Gekht.

  1. Ambil sertifikasi yang aplikatif, bukan teori. Perlihatkan bahwa Anda bisa cepat belajar dan langsung diterapkan.
  2. Jalin koneksi langsung dengan orang dalam industri atau perekrut. Sekarang, melamar lewat CV saja tidak cukup.
  3. Pahami bisnis, bukan hanya teknis. Jadilah problem solver, bukan sekadar coder. Pahami bagaimana perusahaan Anda menghasilkan nilai.

“Berhentilah berpikir bahwa kamu hanya seorang programmer,” kata Gekht. “Mulailah berpikir seperti seorang engineer yang menciptakan nilai nyata. Itu kunci keamanan kerja di era digital ini,” ucapnya.

Baca Juga