Apakah Euforia AI Bakal Meledak Mirip Dotcom Bubble?

Anda yang mengamati perkembangan teknologi di akhir 1990an pasti kenal dengan istilah dotcom bubble. Istilah ini mengacu pada melejitnya industri seputar internet yang ditandai kemunculan banyak situs berdomain .com (dotcom). Kala itu, dana investasi begitu berlimpah karena investor yakin akan masa depan internet.

Akan tetapi, gelembung itu akhirnya pecah. Banyak perusahaan berbasis internet bangkrut, dan miliaran dollar investasi lenyap.

Gelembung AI?

Saat ini, dua dekade setelah dotcom bubble, fenomena yang mirip sedang terjadi. Bedanya, kali ini teknologinya adalah AI. Setiap hari, muncul perusahaan baru yang mengatasnamakan AI. Investor pun berani menginvestasikan ratusan miliar dollar bagi perusahaan berbasis AI.

Karena itu muncul kekhawatiran, apakah sedang terjadi “AI bubble”?

Namun pengamat menilai, euforia seputar AI saat ini berbeda secara fundamental dibanding era dotcom. “Perusahaan AI modern memiliki model bisnis yang lebih nyata, arus kas yang lebih stabil, dan kontribusi langsung terhadap produktivitas,” ujar Dan Ives (Analis Wedbush Securities).

Hal senada dikatakan John Higgins (Kepala Ekonom Pasar di Capital Economics) yang menilai situasi euforia AI saat ini belum separah gelembung dotcom. Alasannya, proyeksi laba perusahaan raksasa AI justru terus meningkat dan menjadi penopang kenaikan harga saham. “Perusahaan big tech terus mengalami pertumbuhan laba yang fenomenal dan memiliki fundamental yang jauh lebih kuat dibanding era dotcom,” tulis John Higgins (Kepala Ekonom Pasar di Capital Economics) seperti dikutip Fortune.

Berbeda dengan era dotcom, lingkungan moneter saat ini juga jauh lebih mendukung melejitnya bisnis AI. Saat era dotcom, The Federal Reserve justru menaikkan suku bunga secara agresif untuk menahan inflasi dan mendinginkan ekonomi. Langkah itu memperparah kejatuhan perusahaan teknologi yang masih bergantung pada pinjaman.

Sebaliknya, saat ini The Fed mulai menurunkan suku bunga, membuat biaya pinjaman lebih murah bagi perusahaan AI yang sedang berkembang pesat. Suku bunga yang rendah memudahkan pembiayaan ekspansi, riset, dan infrastruktur AI, sekaligus meningkatkan selera risiko investor.

Risiko Gelembung AI

Namun, bukan berarti risiko AI bubble tidak ada. “Kita tetap harus berhati-hati karena valuasi beberapa saham perusahaan AI sudah sangat tinggi. Jika hype lebih cepat dari profitabilitas, koreksi bisa terjadi,” ujar Michael Arone (Kepala Strategi Investasi di State Street Global Advisors).

Kondisi moneter yang longgar juga bisa memicu gelembung baru jika tidak diimbangi dengan kinerja bisnis yang nyata.

“Investor harus membedakan antara potensi jangka panjang dan euforia jangka pendek. AI memang menjanjikan, tapi sejarah mengajarkan bahwa inovasi besar pun bisa menciptakan gelembung jika dibiayai dengan ekspektasi berlebihan,” ujar Mark Mahaney (Analis Senior Evercore ISI).

Kesimpulannya, ledakan AI saat ini tidak identik dengan gelembung dotcom, meski keduanya sama-sama lahir dari revolusi teknologi besar.

Perbedaannya terletak pada fundamental perusahaan yang lebih kuat, dukungan kebijakan moneter yang akomodatif, dan penerapan nyata AI di berbagai sektor industri. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah euforia AI akan tetap bertahan atau pecah seperti dotcom dulu.

Baca Juga